Jumat, 28 Juni 2013

Tugas Bahasa Indonesia ke-4

Pergeseran Bahasa Pada Masyarakat

Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat multilingual dan multikultural yang sarat dengan terjadinya fenomena kebahasaan. Hal ini disebabkan adanya kontak bahasa yang tidak dapat dihindari, khususnya di daerah perbatasan. Perebutan pengaruh pemakaian bahasa (bahasa ibu) oleh masing-masing pemilik bahasa sangat menentukan keberlangsungan bahasa yang dimilikinya. Untuk itu, keloyalitasan penutur bahasa ibu sangat memengaruhi keberadaan bahasa ibu dalam komunikasi. Semakin tinggi loyalitas pemakaian bahasa ibu akan berpeluang eksistensi bahasa ibu sulit bergeser dalam masyarakat tutur. Sebaliknya, semakin rendah loyalitas pemakaian bahasa ibu akan berpeluang terjadinya pergeseran bahasa dan lambat laun akan terjadi kepunahan bahasa ibu.
Pergeseran bahasa itu terjadi manakala masyarakat pemakai bahasa memilih suatu bahasa baru untuk mengganti bahasa sebelumnya. Dengan kata lain, pergeseran bahasa itu terjadi karena masyarakat bahasa tertentu beralih ke bahasa lain, biasanya bahasa yang dominan dan berprestise, lalu digunakan dalam ranah-ranah pemakaian bahasa yang lama, pemertahanan bahasa dalam masyarakat bahasa tetap menggunakan bahasa-bahasa secara kolektif atau secara bersama-sama dalam ranah-ranah pemakaian tradisional.
Keragaman bahasa daerah sebagai bahasa ibu oleh masing-masing penutur saat ini didapati mendapat tantangan atas keberadaan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan bahasa asing. Untuk itu, pergeseran bahasa ataupun pemertahanan bahasa daerah sebagai bahasa ibu dimungkinkan mewarnai kondisi yang demikian. Hal ini selaras dengan pendapat Wilian (2005:94) sebagai bangsa yang multilingual, gejala pergeseran bahasa itu memang juga sedang melanda bahasa daerah (bahasa ibu) di Indonesia. Misalnya, penelitian Gunarwan (2001) yang menghasilkan temuan bahwa bahasa Lampung (bahasa daerah) tergeser akibat adanya desakan bahasa Indonesia. Di samping itu, pergeseran bahasa (language shift) juga bisa terjadi di kalangan generasi muda. Sebagaimana penelitian bahasa Tonsea di Sulut yang dilakukan oleh Wantania (1996) dan Siregar et.al (1998) yang meneliti kasus pemertahanan bahasa dan sikap bahasa masyarakat bilingual di Medan.
Sehubungan dengan uraian di atas, wilayah perbatasan sangat rentan terjadinya pergeseran bahasa, khususnya ranah keluarga yang digunakan sebagai sarana kali pertama pemerolehan bahasa ibu. Untuk itu, pergeseran bahasa Jawa pada masyarakat wilayah perbatasan Jawa-Sunda dalam ranah keluarga di Losari diasumsikan dapat terjadi. Hal ini dikarenakan seringnya terjadi kontak bahasa antara bahasa Jawa dan bahasa Sunda ditambah dengan bahasa Indonesia bahkan bahasa asing dalam peristiwa tutur. Situasi kebahasaan yang demikian memberikan peluang terjadi pergeseran bahasa Jawa, khususnya dalam ranah keluarga. Selanjutnya, ranah keluarga tersebut dijadikan fokus dalam penelitian pergeseran bahasa Jawa pada masyarakat wilayah perbatasan Jawa-Sunda di Losari. Pengfokusan penelitian ini didasarkan pada anggapan bahwa ranah keluarga terdapat pada setiap masyarakat bahasa dan dapat mewakili potret masyarakat yang diteliti secara menyeluruh.

Dampak Globalisasi terhadap Sikap Bahasa

Globalisasi sudah menjadi fenomena semesta; globalisasi, suka atau tidak suka, juga mengubah sikap bahasa penutur Indonesia terhadap BI, terutama di kota-kota besar di Indonesia, khususnya terhadap BI resmi, penggunaan BI resmi, termasuk bahasa nasional, dianggap kurang bergengsi (kurang prestise), kurang nyaman (comfort), kurang canggih, bahkan dirasakan kurang aksi/kurang bergaya (prestige motive). Sikap ini juga terjadi pada media-media elektronik kita, dengan dalih era globalisasi, mata-mata acara ditayangkan dengan bahasa Inggris, malahan presenternya pun menggunakan bahasa gado-gado.

Demikian pula halnya sikap bahasa terhadap bahasa daerah, bahasa daerah kita cenderung telah tergusur karena penggunaan bahasa daerah dianggap kampungan. Sikap seperti itu tidak boleh terjadi; ini amat berbahaya karena penggusuran terhadap bahasa daerah akan berakibat terhadap tergusurnya kebudayaan daerah; hilangnya bahasa daerah berarti hilangnya kebudayaan daerah. Itu akan menimbulkan kekosongan/ kehampaan kebudayaan (cultural void), ini akan mencengkeram masyarakat. Sebagaimana kita ketahui, bahasa adalah jaringan sentral kebudayaan, di samping sebagai salah satu produk kebudayaan itu sendiri. Penggantian budaya yang sudah mapan dan berakar oleh budaya lain yang baru dan asing bisa menjadi fatal; ini akan menjadi krisis identitas yang amat serius. Konon masyarakat yang kehilangan budayanya akan dihinggapi penyakit kehilangan kepercayaan diri; masyarakat itu akan selalu bergantung kepada orang lain, akan mencari tuntunan orang lain di dalam membuat putusan-putusan.
Setakat ini sikap bahasa yang lain adalah kecenderungn memberi gengsi tinggi terhadap BI ragam rendah/ragam bahasa gaul, termasuk suka mencampur-campur unsur bahasa asing, khususnya bahasa Inggris, di samping suka beralih-alih ke bahasa tersebut, padahal konteks dan situasi komunikasi tidak menuntutnya. Dengan kata lain, terdapat tumpang-tindih ranah penggunan bahasa. Ranah yang menuntut penggunaan bahasa resmi disulih dengan bahasa ragam rendah/bahasa gaul; konteks dan situasi interaksi resmi disulih dengan bahasa campur-campur atau dengan konstruksi wacana yang penuh dengan interferensi dari nonbahasa Indonesia resmi.

Secara kasat mata, globalisasi juga menurunkan derajat kebakuan ragam bahasa resmi: BI resmi mendapat gangguan dari bahasa asing, terutama bahasa utama dunia, seperti bahasa Inggris; gangguan ini cenderung tampak pada tingginya gejala interferensi (baik secara gramatikal maupun leksikal) dan gejala campur-campur bahasa BI-BA/Inggris, termasuk pemanfaatan alternasi (beralih/alih bahasa) yang sebenarnya tidak diperlukan/tidak dituntut dalam situasi komunikasi yang sedang berlangsung. Yang lebih memprihatinkan adalah bahwa globalisasi mengimplikasikan kecenderungan mengendurnya semangat nasional pada generasi muda bangsa kita, terutama di kota-kota besar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar